“Baby’s Breath”, bunga klasik
yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya.
Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist
menggunakannya bersama dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.
Namaku Aster.
Saudari tiriku Emily.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah
kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah
rata-rata”. Dia menjalani home-schooling
selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental.
Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia
tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga
milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia
masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak
kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Aster dan aku ingin saudari tiriku
yang bodoh ini menghilang.
“Sial, aku terlambat!”
Dia buru-buru menendang selimutnya dan
mengayunkan kedua kakinya ke samping tempat tidurnya, serangkaian kata-kata
kotor meninggalkan bibirnya layaknya serentetan peluru. Sebuah “sial!” yang
cukup keras keluar saat ujung kakinya terjepit di bawah bobot berat yang
berbaring di lantai, dan, kehilangan keseimbangannya, Aster berjalan dengan
langkah kikuk untuk menyeimbangkan diri di atas dua kaki lagi. Kemudian, dia
ingat. Emily, saudari tirinya, sedang tidur di sebelah tempat tidurnya, bukan
di kamar lain seperti yang ia suruh.
“Ibu! Emily tidur di kamarku lagi!”
teriaknya, hanya untuk menyadari bahwa ibunya pergi; beliau telah pergi bekerja
sebagai pelayan di berbagai tempat untuk menyokong mereka bertiga. Ugh.
Saat Aster ada di lantai bawah mencari-cari
sesuatu di kulkas untuk dimakan, dia melihat Emily keluar dari kamarnya dengan
rambut seperti sarang burung. Emily berjalan ke arahnya dan meninggalkan jejak air di sepanjang jalannya, Aster
berteriak. “Kau mengompol lagi?!” dia mengerang, ”Itu celana training sepak bolaku!”
Sekarang, ia melihat noda gelap air seni mengalir di kain abu-abu (dan mahal)
miliknya itu. Emily melihat ke bawah ke celana yang ternodai dan kembali ke
Aster dengan ekspresi penuh penyesalan. “Maaf, Aster, aku tidak sengaja… aku
tidak sengaja…” dia tergagap, sembari melepas celananya di ruang tengah.
Aster memekik dan menutup wajahnya dengan
satu tangan, menurunkannya lagi dengan sedikit perasaan jijik. “Pakai
celanamu!” Aster memberinya celana baru dan
memasangkannya. “Berapa nomorku?”
“030-8729-3004,” jawab Emily dengan senyum
cerah. Sebenarnya itu adalah satu-satunya yang dia ingat, karena dia tidak tahu
alamat rumahnya, atau apapun yang melebihi tiga digit angka.
“Bagus, kalau kau butuh sesuatu, langsung
telepon. Tapi jangan di saat pelajaran.” Dia berkata sembari memakai sneakers miliknya,
memikul sebuah tas ransel lagi yang berisikan semua peralatan olahraganya.
“Dah, Aster!”
Aster memandang Emily sekilas, dengan
tampang bodohnya melambai disertai senyum terlalu bahagia di wajahnya. Dia
hanya membalas dengan sebuah senyum palsu dan menutup pintu untuk bergegas
pergi ke sekolah.
Tiba di sekolah tiga puluh menit dari jam
pertama, Aster hanya bisa bermuka tebal saat ia masuk lewat belakang kelas.
Sebagian besar mata tertuju padanya, dan sang guru, terkejut, melabelinya
lamban begitu ia duduk dekat jendela di belakang temannya. Mereka berdua saling
bersalaman, dan tampak jelas kalau beberapa perempuan tengah menggosip, jatuh
pingsan malah, saat Aster duduk di kursinya, sedikit terlambat.
“Maaf, pak,” dia mengangkat tangannya seolah
meminta maaf, “saya terlambat bangun.”
“Hei, Aster!” Jack tersenyum, melingkarkan
tangan di bahu temannya dari belakang, “Aku boleh mampir ke rumahmu nanti? Aku
butuh bantuan dengan PR Matematikaku, dan aku yakin kau paham dengan pelajaran
ini.”
“Uh… Aku ada pekerjaan yang harus dilakukan malam hari.”
“Benarkah? Payah. Jadi, kapan aku bisa
mampir?”
“Tunggu,” Aster mengangkat jarinya saat
mengeluarkan ponsel dari tasnya. Tidak heran, ada tiga puluh dua panggilan tak
terjawab. Dia menduga setidaknya dua puluh delapan dari Emily, lainnya dari
ibunya yang menanyakan Emily. Kemudian, tiba-tiba
dia berhenti berjalan, matanya melebar. “Apa aku… belum mengunci pintu depan?”
“Aku tidak tahu,” Jack menggaruk belakang
lehernya, “kenapa kau menanyakan itu padaku?”
Segera dia memencet nomor Emily (yang ada di
speed dial) dan
berharap mendengar berita baik di hari buruknya ini. ‘Kumohon semoga ada di rumah… ada di
rumah…’
Dia berlari kencang ke rumah. Sesampainya
disana Aster melemparkan tas ranselnya ke samping rak sepatu dan masuk,
memanggil-manggil nama Emily.
Hatinya terbenam dalam kelegaan ketika
melihat Emily tergeletak di lantai ruang tengah masih seperti saat ia
meninggalkannya, sehat walafiat.
“Aster, ponselnya!” Emily berseru, sambil
beranjak bangun dan meninggalkan notebook
serta pensilnya untuk menunjukkan saudara tirinya itu layar ponsel yang hitam.
Baterainya habis. “Tentu saja, ponselnya mati, bodoh. Kau meneleponku
setidaknya ratusan kali,”
“aku sudah bilang padamu untuk menelepon
kalau sedang darurat saja.”
Emily duduk di lantai kayu kembali tanpa
banyak kata, meraih notebook
yang halaman-halamannya penuh dengan huruf-huruf dan kalimat yang berantakan. .
Aster mendesah pelan saat berjalan menuju
kamarnya untuk berganti baju, “Ayo jalan-jalan.”
Mereka akan pergi ke toko bunga keluarga.
Toko itu milik neneknya, namun ketika beliau meninggal beberapa bulan yang
lalu, keluarga Aster mewarisi tempat tersebut.
Sesampainya disana, Emily begitu antusias
untuk merawat dan menyiram bunga.Di sisi lain, Aster sama sekali tidak tertarik
dengan bunga dan hanya menunggui mesin kasir.
Aster akan membacakan pesanannya pada Emily
yang akan merangkainya menjadi sebuah buket tidak kurang dari tiga puluh menit
untuk diantarkan oleh orang suruhan atau diambil sendiri oleh sang pembeli
secara tunai. Kebanyakan pesanan berisi mawar, anyelir, atau berbagai macam
bunga lili yang selalu menjadi favorit setiap waktu.
“Enam belas mawar, dengan pita warna emas.
Buatlah yang bagus, Emily, pelanggan ini akan melamar kekasihnya satu jam
lagi.”
Emily menyiapkannya dalam tiga puluh menit,
mawar-mawarnya dibentuk hati dengan Baby’s
Breath yang berkerumun di sekelilingnya. Dia tampak puas dengan
hasilnya saat ia menyerahkannya pada Aster, yang sedang menuliskan selembar
catatan untuk menyertai buket tersebut dengan tulisan tangannya yang paling
bagus.
Barulah kemudian, sebuah panggilan masuk ke
ponselnya dan Aster menahan ponselnya di antara pipi dan bahunya, sementara
Emily kembali menyiram bunga di belakang.
“Di warnet? Aku sedang sibuk sekarang…”
Aster menjelaskan, “Hei, tahu tidak, setelah aku pikir-pikir lagi, aku akan ada
di situ jam sepuluh, jangan memulai babak tanpa aku!” Dia menutup ponselnya,
tiba-tiba sibuk dalam bayangannya bermain Starcraft
dengan teman-temannya di sebuah warnet hanya beberapa blok dari tokonya. Kalau
Emily tinggal di toko, dan dia kembali ke toko satu jam kemudian berarti, tidak
apa-apa, kan? Toh, sangat tidak mungkin pembeli datang pada jam lima sore untuk
membeli bunga.
“Hei, Emily, aku akan keluar sebentar
membeli es krim untuk kita, tetaplah di sini, ya?”
Emily mengangguk, menatap bingung ketika
Aster pergi terburu-buru.
Sudah jam delapan malam; tiga jam setelah
Aster meninggalkan Emily sendirian.
Aster dengan mudahnya telah melupakan
saudara tirinya yang mengurus toko sendirian, terlalu terbenam dalam kesenangan
menghabiskan waktu bersama teman-temannya untuk menyadari bahwa langit mulai gelap
di luar ruangan warnet yang remang. Hanya ketika Jack dan Sehun mendapat
panggilan dari orangtua mereka, Aster baru menghentikan permainannya dan
mengecek waktu.
“Hei, kau baik-baik saja? Kau seperti baru
melihat hantu saja.” Jack menyeringai, “Masih gemetar setelah kukalahkan dua
kali berturut-turut?”
Aster hanya mengabaikan pertanyaan temannya
itu dan bergegas kembali ke toko bunga.
“Emily!” ia memekik ketika tiba di toko
bunga yang kosong dan gelap. Ia tidak ada di sana. Ia tidak ada di belakang menyirami
bunga atau menyusun pot sesuai warnanya. Bahkan apron kerjanya pun telah
menghilang, begitu juga dengan buket mawarnya.
Aster mengunci toko secepat yang ia mampu
dan mulai berlari ke jalanan. Dengan akal Emily yang seperti itu, tidak mungkin
ia pergi terlalu jauh dengan kedua kakinya, tidak mungkin juga ada kemungkinan
bahwa ia diculik.
Di perempatan ia bersandar pada telepon
umum, ia baru saja akan menekan nomor darurat itu ketika matanya menangkap
sesosok gadis kurus nan dungu di
seberang jalan. Ketika ia sampai di seberang jalan, ia baru menyadari bahwa
gadis itu tengah tidur di bangku taman, buket mawar tergenggam erat di dadanya.
“Emily,” ia menggertak, “Emily!”
Dengan rasa kantuk yang masih samar di
pelupuk matanya, ia terlihat begitu girang melihat Aster lagi. “A-Aster!”
Akan tetapi, senyum itu menghilang ketika
Aster menamparnya pipinya keras. “Aster...” ia bergumam pelan, bibir bawahnya
gemetar saat ia mengangkat satu tangan ke pipinya yang memerah.
“Aku sudah bilang padamu untuk tetap tinggal
di toko!” teriak Aster, urat nadi menonjol di lehernya seiring amarah menguasai
rasa kasihan yang awalnya ia rasakan, “Kau itu bodoh atau bagaimana? Apa kau
tidak mengerti saat aku bilang untuk tetap berada di tempat? Bagaimana kalau
terjadi sesuatu padamu?!”
Emily menggigit bibir bawahnya dan dengan
hati-hati menyerahkan buket mawar pada Aster, yang hanya melempar buket itu ke
tanah.
“Kau tidak bisa mengerti apapun yang aku
katakan, kan? Yah, aku harap kau tidak pernah dilahirkan.”
Untuk sepersekian detik, hatinya terasa
sesak di dada saat ia melihat air mata menggenang di mata Emily. Ia meyakinkan
dirinya bahwa tidak mungkin gadis dungu itu mengerti kedengkian di balik
kata-katanya, dan Emily hanya menangis layaknya bayi karena ia tidak mau
dimarahi. Aster berbalik dan berlari menyebrangi jalanan malam yang tampak
sepi.
Sampai sebuah truk besar menabrak nya hingga
ia tersungkur di aspal dan semuanya menjadi gelap.
Kecelakaan malam itu, membuat Aster harus di
operasi karena mengalami patah tulang. Emily hanya bisa menangis seperti anak
kecil yang kehilangan mainannya. Baginya Aster adalah segalanya. Aster lah yang
merawat dan menjaga Emily setiap hari, Aster lah yang memasak untuknya setiap
pagi.Meskipun Emily tahu betul bahwa Aster sangat membenci dirinya. Namun, itu
tidak bisa merubah rasa sayang Emily pada Aster.
Setelah operasi selesai, Aster mengalami
koma 3 bulan. Selama 3 bulan itu, Emily belajar untuk menjadi manusia normal.
Ia mulai berlatih mati-matian membaca, menulis, berhitung, berbicara dengan
orang asing. Bahkan ia sudah bisa memasak sendiri. Kini ia sudah menjadi gadis
cantik dan pintar. Perlahan, penyakitnya sembuh.
Setelah Aster sadar, ia seperti orang asing
bagi Emily dan Ibunya. Kata pertama yang ia ucapkan setelah sadar adalah “Siapa
aku?”
Yah. Aster mengalami amnesia sementara
akibat kecelakaan itu. Ia tak mengingat apapun tentang hidupnya. Dan Emily.
Dalam masa pemulihan dan pengembalian
ingatannya. Emily lah yang setiap hari membantu dan merawat Aster. Ia tidak pernah
bosan untuk menceritakan tentang dirinya dulu. Tentang Aster yang selalu
memarahi Emily akibat perbuatamn bodohnya, tentang Aster yang menampar Emily.
Namun, ingatan Aster tak kunjung kembali.
Waktu terus berlalu, hari berganti hari,
musim juga telah berganti.
6 bulan kemudian.
“Terimakasih.”
“Aku sama sekali tak tahu apa yang harus
kukatakan tapi terimakasih. Aku merasa seperti… semua telah terucapkan tanpa
kuketahui… dan kita telah melalui banyak hal. Kau selalu berada di sisiku,
selalu. Kurasa terkadang aku tak melakukan cukup banyak hal untukmu karena kau
selalu mendukungku tak perduli apa yang terjadi. Aku…” ia berbalik untuk
melihat apa yang Emily lakukan dan menghela nafas dramatis ketika ia melihat
Emily membungkuk di atas lumpur, menyingkirkan kerikil disana.
Ia tak mendengarkan.
“Emily!” jeritnya, “Aku tengah mengutarakan
isi hatiku padamu dan kau tak mendengarkan!”
Emily menyeringai seolah ingin mengucapkan
maaf dan berdiri di samping Aster kembali, pandangannya beralih pada saudaranya
yang seketika menyesali apa yang telah ia katakan. Mungkin akan lebih baik bila
Emily tak mendengarkan karena tekanannya lebih berat ketika ia menatapnya
sepanjang waktu.
Aster berdeham dan memikirkan hal lain untuk
dikatakan. Sesuatu yang tak begitu picisan. “Kau tahu… Aku juga minta maaf.
Maaf karena telah memanggilmu bodoh selama ini dan aku benar-benar minta maaf
untuk…” Ia mengerling Emily dan melihat saudaranya tersenyum lebar padanya . Ia
tak bisa serta merta mengatakan bahwa ia bodoh di hadapannya jadi ia menelan
kembali kata-katanya dan menebak bahwa Emily mengerti apa yang ia pendam. “Maaf
karena telah menyakitimu.” Itu dia. Hal itu terdengar sedikit lebih baik dan
pantas.
“Tak mengapa.” Senyum Emily. “Aku senang aku
bisa bersamamu.”
“Di dunia yang selanjutnya, biar kita
terlahir kembali sebagai saudara.
Biar kita terlahir kembali sebagai teman.
Biar kita terlahir kembali sebagai sepasang
kekasih.
Biar kita terlahir kembali sebagai bunga.
Biar kita terlahir kembali kembali
bersama-sama.”
0 komentar:
Posting Komentar